Rindukan Senyummu Kak

Artikel Guru

Rindukan Senyummu Kak

 

“ Saya terima nikah dan kawinnya saudari Amelia Zahra  binti Suparyo Hadi Suprastyo dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” kalimat itu lancar keluar dari sosok laki-laki di samping Amel.

“Sah” Bapak naib berkata

“Sah” serentak yang hadir menjawab bersamaan.

Senyum lega terpancar dari raut wajah kedua mempelai. Akhirnya proses ta’aruf berujung manis dengan sebuah ikatan pernikahan. Ikrar suci yang disaksikan para malaikat Allah berjalan dengan lancar. Kemudian acara dilanjutkan dengan prosesi pernikahan. Mulai dari penandatanganan buku nikah, penyerahan maskawin, pemakaian cincin pernikahan dan foto bersama. Semua seakan di luar perkiraan mereka bisa melangkah dan menjalani kehidupan dalam satu kapal.

Usai  resepsi pernikahan , dengan masih mengenakan pakaian pengantin si Amel mencari bujangnya.

“Dik, tahu kakak dimana?” tanya Amel pada anaknya yang kedua

“Tidak tahu, Bund,” jawab adik sambil terus mengunyah makanan. Si adik ini memang badannya gembul menyenangkan. Putih bersih kulitnya dan ada lesung pipit di pipinya. Dicubitnya pipi si adik sambil berjalan terus.

Amel panik mencari si kakak. Pikirannya sudah panik, ingin menangis kok malu ada si adik, akhirnya Amel menuju kamar dan bicara dengan suaminya, Dwi.

“Ayah, si kakak kok tidak ada dari pagi ya?” tanya Amel pada  Dwi.

“Lho bukannya sama neneknya tadi, tapi si adik ada kan?” tanya balik Dwi sambil duduk di sisi Amel. Dengan lembut disandarkannya kepala Amel ke dadanya.

“ Adik ada di depan, tapi kakak Yah, tidak ada” sambil menahan tangis.

Amel faham anak sulungnya ini belum mau menerima sepenuhnya ada pengganti ayahnya yang sudah meninggal  enam tahun lalu. Dan Amel sangat mengerti akan hal itu, karena si kakak sangat dekat dengan ayahnya.

“ Sudahlah Bun, nanti kita cari sama-sama. Intinya, Bunda jangan panik dulu ya. Aku sudah berjanji di awal bahwa aku akan menyayangi Bunda, dan anak-anak serta ibu. Anak-anakku juga anakmu, anak-anakmu juga anakku. Kita bersama-sama membesarkan mereka supaya jadi orang yang bermanfaat ya,” kalimat bijaknya mulai bisa menenangkankan pikiran Amel.

Pernikahan ini memang pernikahan mereka yang kedua. Masing -masing sudah pernah menikah. Suami Amel yang pertama meninggal karena sakit abses lever dan istrinya Dwi juga meninggal karena sakit. Dari pernikahan pertama Amel, memiliki dua anak yaitu Aziz berumur 16 tahun dan Fiqy 10 tahun. Sedangkan Dwi memiliki memiliki dua putra juga dari pernikahan pertamanya, yang sulung Tegar berusia 14 tahun dan Bagas 7 tahun.

Seekor burung pipit melintas dengan manja di atas kepala Amel, mencicit riang pulang menuju sangkarnya. Matahari sebentar lagi tenggelam. Sudah lewat sebulan ini teman masa lalu kembali hadir rutin dengan chatingannya. Segala bentuk perhatian dia berikan. Tetapi hanya teman yang menyambung tali silaturahmi. Tidak bisa dihindari, Amel mengingat kisah persahabatan mereka saat kuliah dulu. Dwi …dia adalah sobat karib satu genk. Ada Erni, Asti, Qnyut dan Ical. Kami menjalin persahabatan murni sahabat saat kuliah di sebuah universitas swasta di Semarang tahun 1996. Meskipun cowok cewek menjadi satu genk kami tidak ada perasaan satu sama lain hingga kami lulus kuliah. Kami berpencar dan kehilangan kontak. Sampai bulan April 2018 tersambung lagi. Semua sudah berkeluarga. Hubungan mereka baik-baik saja dalam sebuah grup whatssap.  Sampai suatu ketika suami Amel menghembuskan nafas terakhir. Tidak bisa dibayangkan saat itu,  Amel menjadi single parent bagi kedua jagoannya yang beranjak dewasa. Hanya berjarak satu bulan, istri Dwi meninggal juga karena menderita sakit jantung. Juga meninggalkan dua jagoan. Takdir kematian tidak bisa diminta dan tidak bisa dihindari. Sebagai manusia hanya wajib mempersiapkan bekal untuk di akhirat saat masih di dunia. Seperti firmman Allah SWT dalam Al Qur an bahwa “Semua yang ada di bumi itu akan binasa” (QS Ar-Rahman:26). Harus ikhlas dan memang harus.

Lembayung senja mulai menghiasi cakrawala, anak sulungnya belum juga menampakkan batang hidungnya. Amel dengan mata sembabnya karena tangisan tadi, keluar dari kamar. Dengan langkah kaki menyeret, ia menuju ruang makan dan duduk termenung di situ. Tubuh seperti terbelah menjadi kepingan-kepingan berserakan. Amel begitu menyayangi anaknya, ia menikahpun demi anaknya. Sejak awal si sulung, Aziz sudah dimintai izin tapi hanya terdiam. Adiknya mau menerima ayah baru saat ditanya. Dan kediaman Aziz diartikan mengiyakan. Tapi siapa sangka faktanya malah berbalik.

Brakk… (suara pintu terdengar keras tertutup)

“ Kak…,” Amel memastikan suara pintu yang terbanting itu ulah anaknya.

Dengan wajah tak sedap, si kakak lanjut saja melewati bundanya. Tanpa menjawab sepatah katapun. Langsung menuju kamarnya. Amel langsung menuju ke arah kamar si kakak.

Tok..tok… ketukan pintu terasa sangat hati-hati

“ Kak…Bunda mau bicara, buka pintunya ya!” dengan suara lembut Amel membujuk Aziz.

“ Apa Bund? Pokoknya aku nggak suka ada orang lain masuk dalam keluarga kita. Titik tanpa koma.” jawab kak Aziz.

“ Ayolah nak, sekali ini saja tolong dengarkan penjelasan Bunda.” sambut Amel.

Dwi yang mendengar ada pembicaraan di kamar depan, segera mendekat. Ia melihat Amel yang kelelahan bicara di depan kamar Aziz.

“ Sudahlah Bun, biarkan kakak istirahat dulu ya, kita memang harus ekstra sabar. Jangan ada rasa emosi dalam menghadapi sesuatu. Kita berusa sebaik-baiknya supaya kakak bisa menerima aku sebagai ayahnya.” hibur Dwi.

Aziz sebenarnya tadi saat bundanya sedang melaksanakan pernikahan lagi, ia sedang bersama teman-temannya ke desa Jipang, kecaamatan Cepu. Ia memang belum bisa menerima kehadiran orang baru dalam keluarganya. Untuk membuang kesal, ia menerima ajakan temannya untuk melihat acara “ Grebeg Suro”  yang menampilkan aneka seni budaya. Acara itu muncul dari inisiatif warga setempat untuk melestarikan kearifan lokal. Dengan mengenakan busana adat keraton, muslim, busana khas setempat dan perpaduan pernik busana kekinian serta diiringi dengan kelompok musik membranophone (drum), para peserta kirab mendapat empati dan apresiasi warga masyarakat desa setempat dan sekitarnya. Aziz yang baru kali ini melihat acara tersebut dibuat terperangah. Begitu banayak adat ternyata di daerahnya yang belum banyak ia ketahui.

Apalagi, ketika tiga buah gunungan berisi hasil bumi diarak menuju makam Gedong Ageng. Warga tidak menyia-nyiakan untuk mengabadikan, membuat dokumentasi melalui kamera telepon genggam dan kamera digital. Aziz dan teman-temannya juga tidak mau kalah ikut mengambil foto.Tiga gunungan hasil bumi terbagi dua gunungan utama dan satu gunungan pendukung dari peserta kirab. Gunungaan tersebut sebagaai bentuk perwujudan rasa syukur atas nikmat dari hasil bumi yang diperoleh masyarakat. Selain gunungan, ada juga nasi tumpengyang dibuat oleh warga dari masing-masing RT, lengkap dengan aneka bumbu dan lauknya. Untuk gunungan hasil bumi, jadi rebutan masyarakat setelah diarak. Sebelum diperebutkan, terlebih dahuludilakukan prosesi rajut mori atau mengganti kain putih yang melingkar pada makam Arya Jipang.

Tanpa terasa hari telah sore, Aziz dan teman-teman cukup puas melihat acara tersebut. Untuk sesaat Aziz melupakan kegalauan hatinya. Ia sempat berpikir, jika ia lama bermain pasti bunda akan panik mencarinya. Maka Aziz minta diantar pulang temannya ke rumah.

Dengan langkah gontai, Amel menurut apa kata suaminya. Tetap terselip kekhawatiran di hatinya bahwa keputusan yang ia buat keliru. Memang ia memutuskan menikah setelah agak dekat lewat chatingan sebulan lalu. Dan hanya bertemu empat kali ia memutuskan untuk mengakhiri kesendiriannya. Tapi semua ada dasarnya, Dwi memiliki niat baik dan sabar dalam menunggu saat Amel minta waktu untuk sholat istikharah. Amel dan Dwi sama-sama menyandarkan pilihan dan keputusan kepada Allah.  Menikah karena ibadah, menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Akhirnya setelah sama-sama yakin, mereka memutuskan untuk mengikat tali suci.

Sikap Aziz masih cuek terhadap ayah dan bundanya, tapi Dwi tetap berusaha mendekati Aziz. Sedangkan tiga anak lainnya sudah saling akrab. Dua anak Dwi juga sudah dekat dengan Amel terutama si bungsu yang super manja.

Suatu ketika tanpa disangka Aziz mendekati bundanya, Amel sambil pegang HP

“Bunda,” sambil menyodorkan HP nya

“ Ya kak, ada pa dengan HP nya?” ada rasa senang menyelusup batinnya melihat bujangnya mulai lunak.

“Ini lho Bund, sepatu bola ori ada discount 20%”, Celoteh Aziz sambil memberikan HP nya yang ada aplikasi sophie.

“ ooo, ya Bunda faham’” sambil melihat HP Aziz.

“Assalamualaikum, …e kakak lagi sama Bunda. Seneng lho ayah,” salam Dwi saat masuk rumah dan merasa surprise dengan sikap Aziz. Setidaknya hatinya sudah mulai terbuka,

“ Wa’alaikumussalam Yah” jawab Amel.

“Ada apa Bund?” tanya ayah

“ Ini lho Yah, kakak minta sepatu bola. Harganya lumayan,” jawab   Amel.

“ Ya dibelikan saja, maana kupesanke nanti aku yang bayar,” timpal ayah. Ini mmerupakan salah satu contoh kesabaran Dwi menghadapi sikap Aziz.

Hingga pada saatnya Aziz kembali menimba ilmu di pondok Ar Risalah Darul Ulum  Jombang. Meskipun dalam diamnya, Amel tahu anaknya sudah sedikit terbuka hatinya. Pagi ini dengan diantar Dwi dan Amel, Aziz meluncur ke pondok. Dwi tak henti-hentinya bercerita dan bahkan bertanya pada Aziz. Meskipun kadang hanya dijawab pendek atau bahkan tidak dijawab , Dwi tidak menyerah begitu saja. Tiba-tiba Aziz merasa pusing sekali dan akhirnya muntah-muntah dalam mobil. Segera Dwi meminggirkan mobil, lalu turun menuju pintu belakang. Belum sempat dibuka pintunya, Aziz muntah tanpa bisa ditahan lagi. Hampir di dalam mobil kena untahan Aziz. Dengan telaten Dwi membersihkan hasil muntahan tadi. Amel mengajak Aziz duduk di bawah pohon dan memberikan minyak kayu putih di perut Aziz

“ Hoek..hoek..hoek…,” sampai pucat wajah Aziz. Masih muntah lagi hingga badannya lemes. Tidak menunggu berapa lama mereka membawa Aziz ke RS terdekat. Setelah diperiksa, ternyata hanya masuk angin biasa. Sambil menunggu Aziz pulih, Dwi menawarkan pada Aziz untuk kembali pulang Cepu. Tapi Aziz tetap ingin kembali ke asrama, karena esoknya harus masuk.

Sepanjang jalan Dwi memantau keadaan Aziz dengan menengok lewat kaca spion. Takut ada apa-apanya. Mobil berjalan sangat pelan.

Akhirnya sampailah di Darul Ulum,Dwi segera membawakan barang-barangnya ke kamar, Aziz melihat semua yang dilakukan ayahnya sungguh luar biasa. Sambil menunggu, Aziz bincang-bincang dengan bunda. Suasana mulai mencair saat Aziz sudah mau pulang atau kembali ke pondok.

“ Bunda, aku ikut lomba 2 minggu lagi. Doakan ya, “ lirih suara Aziz.

“ Pasti sayang…doa bunda selalu ada untuk kesuksesanmu,” jawab Amel sambil membenahi jilbabnya.

“ Bunda, boleh pulang sekarang. Nanti kemaleman. “ ungkap Aziz,

“ Ya Kak, ayah juga pulang ya. Sekalian tadi mbah pesan, kakak harus menjaga pola makannya!“ sela Ayah.

Kemudian kakak dengan tersenyum menjabat tangan Dwi sebagai ayah barunya. Dwi sangat kaget dengan perubahan kak Aziz.

Alhamduliah berkat kesabaran dan rasa syukur, maka kehidupan akan berlangsung sesuai yang diharapkan untuk selamanya. Meskipun nantinya pasti ada gejolak yang mungkin lebih besar, tetapi dengan rasa sabar semua akan terlampaui.

Dalam perjalanan pulang, Dwi merasa lega sekali dengan situasi yang baru saja terjadi. Begitupun dengan Amel, yang awalnya sangat khawatir akan keadaan putra sulungnya. Amel kembali membaca ulang goresan pena pada secarik kertas yang ditemukannya di kamar Aziz.

 

RINDU PELUKAN AYAH

Goresan ini menari melambai menuntaskan hasrat

Menyapa satu rasa yang selalu tergenggam rapat

Mencari diri yang terus bersembunyi dalam mata kasat

Gelora kerinduan yang terus merapat

Seakan tak bisa tersekat

Ayah….

Hadirmu yang selalu kutunggu

Nyatanya hanya sisakan biru

Kelabu

Ku terus merindu meski semu

Tanpa ragu

 

Tanpa terasa air mata Amel turun, merasakan betapa sulungnya merindukan ayahnya yang telah berpulang. Genggaman tangan Dwi saat ini dan seterusnya yang bisa menguatkan kembali hati yang rapuh.

Quote:

Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya mulus. Kehidupan ibarat kapal yang berlayar, terpaan badai gelombang pasti ada. Entah itu besar atau kecil. Tergantung nahkodanya, bagaimana mengatasi badai gelombang yang menerpa kapalnya. Mau dibawa kemana kapal tersebut. Selamat sampai pelabuhan atau menyerah dan tenggelam.

BIODATA NARASI

Saya terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara tanggal 21 Juli 1978. Orang tua memberikan nama Sri Wahyuningsih, dan biasa dipanggil Naning. Perjalanan pendidikan saya dimulai dari SDN II Tambakromo dan lulus tahun 1990. Melanjutkan ke SMPN 1 Cepu dan lulus tahun 1993. Saat itu SMANSA menjadi SMA favorit di kota Cepu, dan Alhamdulilah saya bisa melanjutkan ke SMANSA Cepu jurusan Fisika. Menyelesaikan SMA tahun 1996. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Semarang D III Administrasi Perbankan. Setelah selesai kuliah D III, kemudian melanjutkan mengambil S 1 di IKIP WIDYA DARMA Surabaya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengalaman mengajar awalnya di TK DEWI SARTIKA Surabaya  selama 2 tahun, kemudian TK HAWILA PURI Surabaya selama 3 tahun. Setelah menikah tahun 2004 kembali ke Cepu mendirikan TK ISLAM NURUL IMAN. Sampai alur kehidupan membawa angin segar, diterima sebagai ASN di Bojonegoro pada tahun 2011 dan didinaskan di SMKN Ngraho Bojonegoro. Kemudian tahun 2013 melanjutkan S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan lulus tahun 2015.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *